Pertanyaan, “Saya berharap Anda berkenan menjawab pertanyaan berikut ini. Apakah diperbolehkan bagi seorang yang bertakwa dan saleh serta tidak ada yang bermasalah pada agama dan akhlaknya untuk mengambil upah atas ruqyah syar’iyyah berdasarkan Alquran dan As-Sunnah yang dia lakukan? Dia tidak meminta upah, di awal juga tidak ada kesepakatan harus membayar sekian setelah ruqyah selesai dilakukan. Jadi, pasien menyerahkan sejumlah uang sebagaimana yang dia inginkan atas inisiatifnya sendiri. Perlu diketahui bahwa tukang ruqyah tersebut bukanlah orang yang obsesinya hanya mengumpulkan harta dari upah meruqyah.
Dia hanya memanfaatkan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan hariannya dan untuk melakukan berbagai amal kebajikan. Apa hukum mengambil upah dari meruqyah? Apa dalilnya? Jika jawabannya adalah ‘boleh’ maka perbuatan tersebut akan menurunkan derajatnya di sisi Allah? Apakah ada perbedaan pengaruh antara tukang ruqyah yang membuat kesepakatan adanya upah di akhir ruqyah dengan tukang ruqyah yang tidak demikian?”
Jawaban Syekh Abdullah Al-Jibrin, “Tidaklah mengapa mengambil upah setelah melakukan ruqyah yang syar’i, asalkan pasien sembuh total dengan sebab ruqyah. Dalilnya adalah hadis dari Abu Said yang menceritakan bahwa sejumlah shahabat singgah di suatu perkampungan. Ternyata, tidak ada satu pun dari penduduk kampung tersebut yang mau memberi sajian kepada mereka. Tak lama setelah itu, kepala kampung tersebut disengat binatang berbisa. Mereka melakukan berbagai upaya namun tidak membuahkan hasil sedikit pun. Lalu ada yang usul, ‘Bagaimana kalau kita minta tolong kepada orang-orang yang singgah di kampung kita?‘
Setelah para utusan kampung tersebut tiba di tempat singgah para shahabat, ada salah seorang shahabat yang mengatakan, ‘Demi Allah, aku akan meruqyahmu. Akan tetapi, menimbang bahwa ketika kami singgah di kampung anda tidak ada satu pun yang memberi jamuan kepada kami, maka aku tidak meruqyah kecuali jika ada upahnya.’ Akhirnya, mereka bersepakat untuk menetapkan bahwa besaran upah ruqyah yang disepakati adalah sejumlah kambing.
Akhirnya salah seorang shahabat itu meniup ke arah Kepala Kampung dan membaca surat Al-Fatihah. Selesai dibacakan Al-Fatihah orang tersebut segera berdiri dengan enerjik, seakan hewan yang lepas dari ikatan yang membatasi geraknya. Penduduk kampung tersebut lalu menyerahkan upahnya kepada rombongan shahabat tersebut. Nabi mengomentari upah ruqyah yang diterima rombongan tersebut dengan mengatakan, ‘Aku meminta jatah sebagian dari kambing tersebut.’
Dalam hadis di atas Nabi tidak menyalahkan tindakan sebagian shahabat yang mengharuskan adanya upah ruqyah yang akan dilakukan, bahkan Nabi meminta bagian dari upah tersebut. Ini menunjukkan bahwa kesepakatan adanya upah ruqyah itu diperbolehkan dengan dua syarat:
- Ruqyah yang dilakukan benar-benar sejalan dengan syariat. Jika ruqyah yang dilakukan tidak syar’i maka menetapkan akan adanya upah ruqyah tidaklah diperbolehkan.
- Besaran upah ruqyah yang sudah disepakati itu tidaklah diterima melainkan jika pasien sembuh dan terbebas dari berbagai penyakit yang dia derita.
Yang terbaik bagi para tukang ruqyah adalah tidak mengharuskan adanya upah setelah ruqyah, sehingga ruqyah itu hanya untuk memberi manfaat bagi kaum muslimin dengan menghilangkan penyakit dan bahaya yang mengancam mereka. Jika pasien menyerahkan sejumlah uang tanpa adanya kesepakatan awal maka silakan diambil tanpa menjadikan uang sebagai orientasi pokok dalam meruqyah.
Jika pasien menyerahkan uang yang terlalu banyak, lebih dari yang menjadi haknya maka kelebihan tersebut hendaknya dia kembalikan.
Jika tukang ruqyah tersebut menetapkan harus adanya upah setelah ruqyah maka jangan tinggi-tinggi namun sekadar bisa memenuhi kebutan mendasar setiap harinya.” (Al-Fatawa Adz-Dzahabiyyah fir Ruqa Syar’iyyah, hlm. 22)
Bisa juga dibaca di tautan berikut ini:
http://www.ibn-jebreen.com/book.php?cat=6&book=14&toc=476&page=452&subid=6088
Pertanyaan, “Bolehkah meruqyah orang kafir?”
Jawaban Syekh Rabi’ Al-Madkhali, “Boleh. Abu Said meruqyah orang kafir. Ketika itu, Abu Said tergabung dengan pasukan yang Nabi kirim. Mereka lantas melewati sebuah perkampungan atau oase. Setelah meminta jamuan kepada penduduk kampung tersebut –dan tidak ada satu pun yang mau menjamu–, Kepala Kampung tersengat binatang berbisa. Akhirnya, penduduk kampung tersebut mendatangi rombongan para shahabat, lalu mereka mengatakan, ‘Pemimpin kami tersengat binatang berbisa. Adakah di antara kalian yang bisa meruqyah?‘
Jawaban para shahabat, ‘Demi Allah, kami tidak mau meruqyah sampai kalian tetapkan upah untuk kami. Tadi, kami minta jamuan makan namun kalian tidak mau memberi jamuan kepada kami.’ Akhirnya, mereka menetapkan upah berupa sejumlah kambing. Ada salah seorang shahabat yang meruqyah hanya dengan membacakan surat Al-Fatihah. Seketika itu pula, Sang Kepala Kampung sembuh, seakan binatang yang lepas dari ikatan. Ini disebabkan keikhlasan orang yang meruqyah. Nabi tidak menyalahkan ruqyah semacam ini.
Sedangkan saat ini, para tukang ruqyah mengambil upah dan harta dari banyak orang, meski pasien tidak mendapat manfaat sedikit pun dari ruqyah yang dilakukan.
Bolehnya tukang ruqyah mengambil upah karena meruqyah itu bersyarat dengan sembuhnya si pasien, sebagaimana dalam hadis di atas, seketika itu pula Sang Kepala Kampung sembuh, seakan binatang yang lepas dari ikatan. Setelah sembuh, para shahabat mengambil sejumlah kambing yang dijanjikan. Seandainya Sang Kepala Kampung tidak sembuh, tentu mereka tidak akan mengambil sejumlah kambing tersebut.
Sedangkan saat ini, banyak tukang ruqyah yang rakus dengan harta meski pasien tetap pulang membawa penyakitnya dan penderita membawa pula penderitaannya. Mereka tidak mendapatkan manfaat dari ruqyah yang ada, sedangkan harta mereka dirampas oleh si tukang ruqyah. Dalam kondisi semacam ini, harta yang diambil oleh si tukang ruqyah adalah harta yang haram.” (As’ilah Muhimmah Haula Ar-Ruqyah war Ruqah, hlm. 6; bisa diunduh [download] di situs resmi Syekh Rabi’, dengan tautan sebagai berikut: http://www.rabee.net/show_des.aspx?pid=5&id=168&gid=)
Dari kutipan di atas, bisa kita simpulkan bahwa transaksi yang tepat untuk meruqyah adalah jualah sehingga tukang ruqyah berhak mendapatkan upah manakala pasien sembuh dari sakitnya.”
Artikel www.PengusahaMuslim.com